PROFIL PEREMPUAN PENGARANG/ PENULIS INDONESIA

Kategori: Esai dan Kritik Sastra,Sastra | Dilihat: 0 Kali
Harga: -
Tambah ke Wishlist

Pemesanan Juga dapat melalui :

Whatsapp SMS Telp
Kode Produk:

Stok: 1

Berat: 1 Kg

Sejak: 26-10-2022

Detail Produk

PROFIL PEREMPUAN PENGARANG/ PENULIS INDONESIA

KURNIAWAN JUNAEDHIE

Cetakan Pertama, April 2012

KATA PENDAHULUAN

KARANGAN tercetak paling awal dari kontribusi pertama para perempuan penulis muncul dalam bentuk buku pada awal tahun 1890-an di  Hindia Belanda. Baru pada awal tahun 1920-an, para perempuan (di tanah Hindia Belanda yang kemudian disebut Indonesia itu) mulai menulis novel dan menyumbangkan beragam artikel ke media massa lokal.

Pengamatan Claudine Salmon dalam bukunya, Sastra Indonesia Awal  (Kapustakaan Populer Gramedia, 2011) itu  ternyata sejalan  dengan penelitian Maman S. Mahayana. Dalam penelitian yang dilakukan pada tahun 2000 itu misalnya Mahayana mengakui, maraknya penerbitan suratkabar  yang terbit pada awal abad XX itu telah memberi andil cukup besar terhadap lahirnya para penulis dan pengarang perempuan pada masa itu.  Tercatat nama-nama perempuan penulis, seperti, Siti Soendari, Siti Hendoen Zaenaboen, Soeratoen, Rr Oenoen Andiloen, R.A. Latip, Rr Soelastri, dan Soemirah Margolelo.  Sebagian besar tulisan para perempuan di atas, umumnya menekankan pentingnya pendidikan sebagai pintu gerbang memasuki kemajuan. Sebagian lainnya mengimbau agar adatistiadat yang merugikan kaum perempuan, disingkirkan.[1]

Meski Mahayana tidak menyebut secara gamblang,  hal itu bisa dipastikan terjadi karena pada pergantian abad itu telah muncul seorang tokoh perempuan bernama R.A. Kartini, yang dalam suratsuratnya kepada Abendanon, banyak menuliskan tentang keluhan, harapan dan impiannya tentang kemajuan bangsanya, dan khususnya kemajuan kaum wanita.[2]

Gejala awal munculnya barisan perempuan penulis di masa itu juga bisa disimak dari majalah Panorama, yang terbit pada tahun 1920-an itu, tepatnya pada tahun 1927. Majalah itu diasuh oleh orang Tionghoa peranakan bernama Kwee Tek Hoay, yang dikenal sebagai pengarang, dan wartawan terkemuka. Dalam majalahnya itu, Kwee menyediakan ruangan khusus untuk wanita di mana para perempuan penulis dapat memuat karangan-karangannya berupa syair-syair. Tak hanya itu, ia juga memberi pembinaan melalui surat-menyurat atas karangan-karangan itu. Bahkan atas dorongannya kemudian berdiri organisasi pengarang wanita pada saat itu.[3]

Betapa ingar-bingarnya kemunculan para perempuan penulis pada masa itu tampak terasa dalam tulisan-tulisan Salmon, Mahayana dan Myra Sidharta di atas.  Sehingga sangat menyedihkan, dalam sejarah sastra Indonesia yang kita kenal, ternyata tidak banyak nama perempuan pengarang yang disebut, termasuk karya-karya yang mereka hasilkan. Pada zaman peralihan itu, nama yang banyak disebut adalah Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Dalam daftar nama pengarang yang masuk sebagai Angkatan Balai Pustaka (periode tahun 1920-an) versi sejarah sastra Indonesia itu,  nama yang disebut hanya Hamidah, nama pena dari Fatimah Hasan Delais yang menulis Kehilangan Mestika yang terbit pada  1935. Dalam daftar pengarang yang masuk sebagai Angkatan Pujangga Baru (periode tahun 1930-an),  nama perempuan pengarang yang disebut hanya, Selasih, Saleguri atau Sariamin. Dan dalam daftar pengarang yang masuk sebagai Angkatan 45 nama-nama yang disebut ‘hanyalah’  S. Rukiah, Ida Nasution, dan Siti Nuraini.

Baru menginjak periode 1960-an dan 1970-an muncul sejumlah nama perempuan. Agnes Sri Hartini Arswendo, Aryanti, Asnelly Luthan, Boen S. Oemaryati, Diah Hadaning, Farida Soemargono, Ida Ayu Galuhpethak, Ike Soepomo, Ima Suwandi, Iskasiah Sumarto, Isma Sawitri, La Rose, Marga T., Maria A. Sardjono, Marrianne Katoppo, Mira W., N.H. Dini, Nana Ernawati, Nina Pane, Poppy Donggo Hutagalung, Rayani Sriwidodo, Rita Oetoro, S. Mara GD, S. Tjahjaningsih, Samiati Alisjahbana, Susy A. Aziz, Suwarsih Djajapuspito, Th. Sri Rahayu Prihatmi, Titie Said, Titis Basino, Toety Herati Noerhadi, V. Lestari, dan Waluyati. Dalam bidang puisi lahir sederet nama seperti, Toeti Heraty, N. Susy Aminah Aziz, Diah Hadaning, Isma Sawitri, M. Poppy Donggo Hutagalung, Rayani Sriwidodo, Upita Agustin, Agnes Sri Hartini Arswendo, Asnelly Luthan, dan

Tuti Kuswardani. Sementara dalam bidang fiksi terdapat nama-nama  N.H. Dini, Mariane Katoppo, Iskasiah Sunarto, Maria A. Sardjono, Marga T, Th. Sri Rahayu Prihatmi, Titis Basino P.I., Totilawati Tjitrawasita, Aryanti (nama lain Haryati Soebadio), dan lain-lain.[4] Namun demikian, kedudukan dan karya-karya mereka ‘masih’ tetap tenggelam di bawah bayang-bayang pengarang laki-laki. Banyak kecurigaan yang dilontarkan, misalnya,  kehadiran dan kedudukan mereka telah ditenggelamkan oleh para kritikus sastra yang notabene kaum laki-laki secara sengaja atau tidak  sengaja.[5]

Walhasil, terasa betapa miskinnya kita sekarang dalam hal kepemilikan data yang bisa digunakan untuk menelusuri rekam jejak para perempuan pengarang dan penulis Indonesia pada masa itu.  Buku-buku yang ada, nyaris tidak mampu merepresentasikan keberadaan perempuan pengarang dan penulis Indonesia secara utuh, dan dengan cara-cara menggembirakan tanpa harus disandingkan dengan kaum lelaki.

Buku Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern Edisi Baru (Djambatan, 1981) yang disusun Pamusuk Eneste, dan buku Leksikon Susastra Indonesia (Balai Pustaka, 2000) yang disusun Korrie Layun Rampan yang selama ini jadi buku acuan untuk mengetahui profil para pengarang Indonesia, ternyata lebih banyak memuat nama para lelaki, dibanding menyebut nama kaum perempuan pengarang dan penulis Indonesia. Buku  Angkatan 2000 Sastra Indonesia karya Korrie Layun Rampan (Grasindo, 2000) yang menghimpun 78 nama pengarang, hanya mencantumkan 17 nama perempuan dan selebihnya, sebanyak 61 orang adalah nama lelaki. Buku Ensiklopedi Sastra Indonesia (Titian Ilmu, Bandung, 2004) yang disusun Hasanuddin WS dkk. seakan-akan malah sekadar meneguhkan,  betapa sedikitnya peran perempuan pengarang dan penulis Indonesia di panggung sastra Indonesia. Pantas, bila perempuan penyair  Nenden Lilis A. dengan kesal menyebut, di dunia literer, “perempuan adalah jenis kelamin yang dilupakan.”[6]

Ketimpangan atau ketidak-adilan  seperti ini sejatinya tidak hanya terjadi dalam lapangan kesusastraan atau kepenulisan  semata tetapi  juga terjadi di banyak tempat. Mulai dari lapangan politik, ekonomi, budaya sampai lapangan sosial.  Tak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di dunia.  Mungkin orang lupa, bahwa sebenarnya perempuan pengarang dan penulis telah hadir sejak dulu. Novel modern pertama di dunia, Genji Monogatari, yang ditulis pada tahun 1000 di Jepang adalah karya seorang perempuan pengarang bernama Murasaki Shikibu (975—1015). Karya sastra Bugis  La Galigo yang berbentuk puisi (terpanjang di dunia, tebalnya 7000 halaman, lebih tebal daripada Iliad, Odysea, Mahabarata dan Ramayana) ditulis pada abad XIX di bawah pengayom seni seorang wanita, Siti Aisyah We Tenriolle.7

Tak dapat dipungkiri, corak sejarah yang androsentris seperti itu menjadi penyebab, kenapa  perempuan selalu ditempatkan dalam posisi sebagai figuran. Sehingga di tengah-tengah dominasi laki-laki di semua sektor, karya para perempuan itu bagaikan setitik pulau kecil yang seringkali tak terlihat di peta.

Sesungguhnya ada buku yang pernah terbit, yang secara khusus memberi panggung yang layak bagi para penulis perempuan Indonesia, yaitu Profil Perempuan Pengarang Peneliti Penerbit di Indonesia (Kelompok Cinta Baca, 2000) yang disusun Korrie Layun Rampan, Titiek W.S., dan Matheus Elanda Rosi DS. Sayangnya, buku yang memuat 119 nama perempuan penulis pengarang, peneliti dan penerbit   itu tidak beredar luas, dan sekarang sulit diperoleh. Bahkan Pusat Dokumentasi HB Jassin pun sudah tidak menyimpannya lagi. Padahal selama kurun 12 tahun sejak buku itu terbit, perkembangan signifikan telah terjadi di banyak aspek kehidupan termasuk kepenulisan. Jumlah pengarang makin besar, termasuk di dalamnya jumlah perempuan pengarang.

Berbagai alasan dan pertimbangan di atas itulah  yang pada akhirnya menjadi alasan  utama mengapa saya terdorong untuk menulis buku semacam ini secara afirmatif. Sebuah buku yang di luar dugaan, berhasil menjaring 800-an nama perempuan pengarang dan penulis Indonesia dari berbagai lapangan mulai dari penulis puisi, cerpen dan novel, sampai penulis kuliner dan kisah perjalanan; sejak zaman Saadah Alim, perempuan pengarang kelahiran  9 Juni 1897 sampai perempuan pengarang kelahiran 18 April 1995, bernama Sri Izzati.  Dan dengan segala keterbatasannya, saya juga memasukkan di antara 800-an nama itu perempuan pengarang dan penulis dari kalangan Lekra dan kalangan Tionghoa dua golongan pengarang yang selama ini  tidak pernah tercatat dalam sejarah (sastra) Indonesia kita.

Tanpa harus menafikkan data sensus tentang populasi kaum perempuan usia produktif dalam skala kependudukan Indonesia secara keseluruhan[7], buku ini pada dasarnya memang hanya ingin mengajak siapa pun yang selama ini meragukan keberadaan dan kemampuan perempuan pengarang dan penulis Indonesia, untuk memperoleh gambaran secara lebih utuh dan bulat tentang kiprah perempuan pengarang dan penulis Indonesia dari zaman ke zaman. Dengan kata lain, angka 800-an memang bisa jadi tidak berarti apa-apa, namun buku ini coba mengajak pembaca  menggunakan kacamata lebih baru untuk menyaksikan kehadiran dan kiprah mereka secara lebih jernih, di luar dunia laki-laki yang selama ini menjadi golongan mayoritas.

 

Beberapa Catatan

Jika kita menyimak satu per satu nama dalam buku ini, maka hal yang paling menonjol dan mengesankan adalah munculnya banyak nama perempuan pengarang dan penulis pemula yang tumbuh dan berkibar namanya dalam khasanah kepenulisan kita pada tahun-tahun terakhir. Mereka adalah kaum perempuan pengarang dan penulis generasi muda dari Sabang hingga Merauke, yang menunjukkan produktivitasnya secara luar biasa dalam hal membukukan dan memasyarakatkan pengalaman, pikiran dan perasaannya. Kemunculan para penulis muda itu sungguh layak dicatat karena menumbuhkan harapan baru bahwa sastra Indonesia tidak akan punah.

Kehadiran barisan perempuan pengarang dari kalangan selebritis yang dijuluki oleh pengamat sebagai perempuan pengarang fiksi bermadzab Sekuler[8] yang dimotori Ayu Utami, Dewi “Dee” Lestari, Jenar Mahesa Ayu, Nova Riyanti Yusuf, Fira Basuki, dan lain-lain juga telah memberi warna  tersendiri.

Fenomena itu menjadi makin menarik karena dalam waktu hampir bersamaan muncul juga barisan pengarang fiksi Islami[9] yang dimotori Helvi Tiana Rosa dan Asma Nadia melalui Forum Lingkar Pena (FLP)  Kehadiran FLP pantas dianggap sebagai fenomena tersediri dalam khasanah sastra Indonesia karena forum ini berhasil menjadi wadah bagi berbagai kalangan — mahasiswa, pegawai, ibu rumah tangga, buruh, anak jalanan, hingga pembantu rumah tangga — untuk menulis (buku). Dengan jumlah anggota sebanyak 7 ribu orang, 500 orang di antaranya telah menulis (menerbitkan) buku.[10]  Ahmadun Yosi Herfanda menyebut kehadiran mereka menjadi mainstream yang kuat dalam mengimbangi kelompok perempuan pengarang fiksi Sekuler tadi.[11]  Dan fenomena ini menjadi lebih menarik mengingat menurut Pipiet Senja, para perempuan pengarang sebelumnya banyak ‘didominasi’ oleh  perempuan-perempuan non-muslim, seperti Marga T, Mira W, Maria A. Sarjono dan lain-lain.[12]

Dalam pada itu, tingginya pendidikan rata-rata para perempuan pengarang dan penulis dewasa ini juga menimbulkan harapan besar, bagi keberlangsungan upaya pencerdasan bangsa. Jika rata-rata perempuan pengarang dan penulis zaman Selasih dan Rukiah  umumnya tamatan Sekolah Guru Kepandaian Putri, maka para perempuan pengarang mutakhir ini rata-rata berpendidikan Program Pascasarjana atau minimal bergelar S-1.

Agnes Majestika, Helvy Tiana Rosa,  Sri Lestari Wahyuningrum, Uni Sagena, Upita Agustine,  dan Yvonne de Fretes adalah sedikit dari mereka lulusan program Pascasarjana dan bergelar S-2.  Amanda Katili Niode, Artini, Dewi Motik Pramono,  Henny Herwina Hanif, Melani Budianta, dan Sastri Sunarti Sweeney, misalnya, adalah pemilik gelar S-3 (Ph.D). Tak sedikit di antara mereka juga dikenal sebagai pejabat publik. Aryanti yang merupakan nama pena dari Prof. Dr. Haryati Soebadio adalah mantan Dirjen Kebudayaan Dikbud dan mantan Menteri Sosial Kabinet Pembangunan V dan anggota MPR-RI (1988--1993) dan Prof. Dr. Edi Sedyawati adalah mantan Dirjen Kebudayaan Depdikbud (1993-1999).

Ada juga catatan menarik bahwa hampir semua perempuan dalam buku ini mulai menulis sejak SMP, pada usia sekitar 14-15 tahun. Dan kemudian menunjukkan bakatnya dalam usia-usia berikutnya. Puisi adalah bentuk karya tulis yang umumnya mereka kenal pertama kali, dengan beberapa pengecualian.  Baru setelah itu, mungkin karena pengaruh pendidikan atau pekerjaan, mereka menemukan jatidirinya sebagai penulis cerita anak-anak, penulis cerpen, atau penulis novel bahkan sebagai eseis.

Kendati tak terlalu penting, menarik juga dicatat, di kalangan perempuan-perempuan pengarang masa kini  mulai muncul kesadaran tentang betapa pentingnya arti sebuah nama (pena), yang pada dasarnya adalah sebuah brand name. Mereka tampaknya menyadari bahwa nama-nama yang biasa, akan sulit ditelusuri melalui mesin pencari Google, sedang nama-nama dengan lafal dan ejaan yang sulit, hanya membuatnya tidak mudah untuk diingat. Apakah ini berarti di zaman kemasan ini pendapat content is the king sudah berubah sehingga nama pena  menjadi tak kalah penting? Biarlah para ahli membahasnya secara khusus.

Hal lain yang layak dicatat menyangkut brand name ini, adalah kenyataan  tak semua nama perempuan itu adalah benar-benar ditulis oleh perempuan. Banyak nama yang kedengarannya feminin, ternyata adalah nama-nama lelaki,  misalnya nama Niken Pratiwi atau Agnes Yani Sardjono. Penyair Sapardi Djoko Damono menduga penyamaran ini dilakukan karena dianggap menguntungkan karena didasari pada kesadaran pembaca wanita makin banyak jumlahnya. “Jika alasan terakhir ini benar-benar berdasar, terbayang sudah bahwa masa depan fiksi kita akan lebih banyak ditentukan oleh perempuan.”[13] Ini mengingatkan kita pada nama novelis Prancis George Sand yang nama aslinya adalah Amandine Lucie Aurore dan nama novelis Inggris George Eliot yang nama aslinya adalah Mary Ann Evans yang notabene adalah para perempuan yang menyamar menjadi lelaki. Dalam konteks Eropa, penyamaran ini juga dilakukan karena nama lelaki lebih bisa diterima oleh kritikus dan pembaca.

Apakah kemunculan  penulis perempuan tersebut memiliki  hubungan yang korelatif dengan perjuangan feminis? Apakah ada pergeseran ide dari masalah-masalah yang mereka tulis? Apa sebetulnya concern mereka saat ini? Karena sejak awal catatan ini tidak bermaksud untuk membahas content, maka biarlah itu menjadi urusan pengamat lain. Saya hanya ingin mengutip sebuah penelitian yang mengatakan bahwa,  fenomena ini tidak sekedar menunjukkan adanya dominasi perempuan pengarang yang telah mewarnai sejarah kesusastraan Indonesia yang selama ini didominasi oleh lakilaki, tetapi juga telah melahirkan satu bentuk penulisan feminin (morfologi feminin) sebagai bentuk pendekonstruksian penulisan maskulin yang selama ini telah menjadi ideologi penulisan sastra. Fenomena ini memungkinkan lahirnya genre baru, sastra seksis perempuan, yang disebut sebagai SEXTS (seks dan teks).[14] Apakah benar demikian? Sekali lagi, hal-hal semacam ini bukan menjadi wilayah kata pengantar ini.

Yang  pasti, lahirnya banyak perempuan pengarang dan penulis yang membuat buku ini berhasil menghimpun 800-an nama itu dimungkinkan oleh antara lain, semakin kondusifnya iklim kebebasan berbicara,  kemajuan perkembangan teknologi dan metoda penerbitan (indie) serta metoda-metoda pemasaran buku yang mereka lakukan secara kreatif.

Pembatasan

Akhirnya harus dijelaskan, apa kriterium yang digunakan oleh buku ini sehingga ada namanama yang dimuat, dan ada nama-nama yang tidak dicantumkan?

Pertama, nama-nama perempuan pengarang dan penulis ini harus sudah pernah membukukan karyanya, sedikitnya tulisannya pernah dipublikasikan dalam sebuah buku antologi atau buku bunga rampai. Persyaratan ‘menulis buku’ ini diutamakan, karena peran buku dalam perkembangan peradaban diakui sangat penting. Meski dewasa ini  banyak sumber pustaka lebih praktis, dan canggih seperti Internet, peran buku masih belum tergantikan, terutama dalam kapasitasnya sebagai sumber pengetahuan, dan sumber informasi. Verba polant, scripta manent, kata pepatah Latin. Kata-kata akan hilang, tapi yang tertulis akan tetap tinggal. Dengan demikian, buku menjadi penting karena bisa mewakili pemikiran manusia dalam menjalin interaksi dengan manusia lain secara sambung-menyambung, dan turun-temurun melampaui zaman.

Kedua, sejak awal buku ini juga tidak diniati menjadi  buku atau daftar absen yang memuat daftar semua nama semua perempuan yang pernah mengarang dan menulis di Indonesia. Ada pertimbangan-pertimbangan teknis, agar buku ini tidak perlu menjadi tebal tanpa manfaat;  dan juga tentu saja juga ada pertimbangan subyektif, yaitu karena keterbatasan pengetahuan saya.

Ketiga, betapa pun saya tetap memperhatikan pencapaian karya-karya mereka dan sejauh mana pengaruh (karya) mereka dalam konteks besar ‘sejarah perjalanan’ perempuan pengarang dan penulis di Indonesia sehingga aturan 1 dan 2 kadang harus saya ‘langgar’.  Itu karena saya ingin buku ini tetap bisa memelihara jejak-jejak penting yang mereka lakukan.  Meski demikian, pencantuman nama-nama itu  sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan urusan  ‘mutu’, baik dari segi kepengarangan atau kepenulisan atau karya-karya mereka.

 

Ucapan Terimakasih

Pada gilirannya selaku penyusun buku ini,  saya harus mengucapkan terimakasih kepada bebarapa pihak. Utamanya kepada sejawat saya yang budiman Adri Darmadji Woko dan Kurnia Effendi. Merekalah yang selama penyusunan buku ini berlangsung, menjadi supervisor saya. Bukan menjadi rahasia umum lagi, di samping memiliki koleksi buku yang lumayan,  kedua sejawat saya tersebut memang dikenal memiliki ingatan tajam dan pengetahuan luas tentang khasanah kepenulisan sesuai minat masing-masing.  Saya sungguh terharu atas dukungan itu, sehingga saya  wajib menghaturkan banyak terimakasih kepada mereka. Saya juga harus berterimakasih kepada sejawat saya, Eka Budianta, Saut Poltak Tambunan, Susy Ayu, dan Yvonne de Fretes yang dengan cara, gaya dan kapasitasnya masing-masing telah memberi kontribusinya yang besar dalam proses penyusunan buku ini.

Peluk cium juga untuk kedua putri saya, Azalika Avilla Adinda dan Betsyiela Bebi Bianca; karena selain terus menyemangati saya, koleksi buku-buku mereka diam-diam ikut memberi sumbangsih berupa data yang tiada tara dalam penyusunan buku ini.

Kepada ratusan sejawat perempuan pengarang dan penulis yang saya hubungi dan menanggapinya dengan baik, saya juga mengucapkan terimakasih untuk kerjasamanya dalam memberi data-data mutakhir untuk buku ini. Mereka saya hubungi  melalui pesan singkat (SMS), BBM, email atau direct message di Facebook selama bulan Januari- Maret 2012. Alhamdulillah, sebanyak 70 persen nama yang saya hubungi, menjawab dengan terbuka, sekitar 20 persen tidak menjawab tanpa pemberitahuan, dan sisanya --mudah-mudahan bukan karena mereka perempuan—bersedia menjawab tapi keberatan menyebut tahun kelahirannya.

Terimakasih juga kepada para petugas  di Pusat Dokumentasi HB Jassin, Freedom Institute dan Perpustakaan Nasional yang telah melayani saya dengan sabar untuk keperluan buku ini.

Saya hanya berharap, mudah-mudahan buku ini --selain memberi kebanggaan bagi kaum perempuan Indonesia,-- juga bisa memberi faedah bagi para pelajar, mahasiswa, guru, dosen, peneliti,  wartawan, penulis, editor  –baik media massa maupun buku--  dan secara lebih luas memberi manfaat bagi para pecinta buku Indonesia umumnya. Tak kenal maka tak saying. Betapa pun, saya menyadari sepenuhnya bahwa buku ini jauh dari sempurna. Segala kekurangan saya mohon maaf, dan segala kritik akan saya tampung untuk perbaikan di edisi berikutnya. 

 

Jakarta, 1 April 2012 Kurniawan Junaedhie

[1] Maman S. Mahayana: “Koran Wanita Awal Abasd XX: Corong Ide Emansipasi”

[2] Surat-surat itu dibukukan di bawah judul Door Duisternis tit Licht oleh Mr. J.H. Abendanon, pada tahun 1912. Tentang ini baca Sukanti Suryochondro, Potret Pergerakan Wanita di Indonesia, CV Rajawali, Jakarta, 1984.

[3] Myra M. Sidharta, "Majalah Wanita: Antara Harapan dan Kenyataan", Prisma, 8 Agustus 1981.

[4] Nurhadi: "Dari Kartini hingga Ayu Utami: Memposisikan Penulis Perempuan dalam Sejarah Sastra Indonesia", Jurnal Diksi FBS UNY edisi Juli 2007.

[5] Soenarjati Djajanegara: Kritik Sastra Feminis. Gramedia Pustaka Utama, 2000. Baca juga: Nurhadi: "Dari Kartini hingga Ayu Utami: Memposisikan Penulis Perempuan dalam Sejarah Sastra Indonesia", Jurnal Diksi FBS UNY edisi Juli 2007.

[6] Nenden Elis A: "Kepada Yang Melupakan", Pengantar Antologi Puisi Penyair Perempuan Sihir Terakhir. Pustaka Pujangga, 2009 7 Korrie Layun Rampan. “Kesusastraan Tanpa Kehadiran Sastra”. Yayasan Aru, 1984.

[7] Dalam pendataan penduduk oleh Kementerian Dalam Negeri, jumlah penduduk Indonesia terhitung 31 Desember 2010 mencapai 259.940.857. Jumlah ini terdiri atas 132.240.055 laki-laki dan 127.700.802 perempuan. Baca  http://www.bps.go.id/.

[8] Istilah ini, termasuk istilah “Pengarang Fiksi Seksual”,  pertamakali digunakan oleh penyair Ahmadun Yosi Herfanda dalam berbagai kesempatan.

[9] Kendati mayoritas anggotanya muslim, Helvy Tiana Rosa menegaskan bahwa FLP bukanlah organisasi penulis yang eksklusif. “Di (organisasi) kami ada juga yang Katolik, dan di FLP Bali kan kebanyakan orang Hindu,” katanya dalam wawancara di majalah Swa.

[10] FLP memiliki 123 cabang di 29 wilayah di Indonesia dan i 13 cabang di luar negeri, yakni di Mesir, Eropa, Jepang, Amerika Utara dan Kanada, Hong Kong (beranggotakan para pembantu rumah tangga asal Indonesia di negeri itu), Singapura, Sudan, Malaysia, Yaman, Jerman serta Arab Saudi.

[11] Anif Sirsaeba El Shirazy, Anif Sirsaeba: Fenomena Ayat-ayat Cinta.  Republika, 2006

[12] Pipiet Senja menyebut kelompok ini dengan istilah “Penulis Noni”. Baca Pipiet Senja, “Tersihir Karya Penulis Noni” http://pipietsenja.multiply.com/journal/item/50/Kenapa_Harus_Fiksi_Islami_1?&item_id=50&view:replies=reverse&show_intersti tial=1&u=%2Fjournal%2Fitem

[13] Sapardi Djoko Damono: “Beberapa Pokok Persoalan Berkaitan dengan Sastra Indoneisa-Tionghoa”, baca buku:Politik Ideologi dan Sastra Hibrida, Pustaka Firadus, Jakarta, 1999.

[14] Ida Nurul Chasanah, Sumito A Sayuti: “Konstruksi Idiologi Patriarki Dalam Karya-Karya PerempuanPengarang Indonesia Mutakhir,”  Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga

Produk Terkait

SMS: +6281807398541 Telp: +6281807398541 Whatsapp: 6281807398541