SEBUAH NOSTALGIA BUDAYA: JEJAK LANGKAH PENYAIR 1970-AN DALAM PUSARAN ZAMAN
Detail Produk
SEBUAH NOSTALGIA BUDAYA: JEJAK LANGKAH PENYAIR 1970-AN DALAM PUSARAN ZAMAN
Oleh: Kurniawan Junaedhie
MEMASUKI zaman baru di tahun 1970-an orang Indonesia mulai bisa bersiul sambil menghirup udara Orde Baru. Meski perekonomian Indonesia masih belum berhasil sepenuhnya disembuhkan, tapi hari-hari itu segalanya tampak serba menjanjikan. Orang mulai bebas bermimpi dan tak ada larangan untuk itu.
Kesenian kembali ke pangkuannya, tidak lagi hidup di dalam kancah politik. Politik tak lagi menjadi panglima seperti di zaman Orde Lama. Peranan Lembaga-lembaga kebuadayaan yang berafiliasi pada partai politik, seperti Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), (LKN) Lembaga Kebudayaan Nasional, Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) dan-lain pudar dan menghilang. Tidak ada lagi pertikaian mengenai seni untuk seni atau seni untuk rakyat, Manikebu dan-lain. Pada awal tahun 1970-an, kesusastraan Indonesia berada pada zaman keemasannya.
Di Jakarta pula pada saat itu terbit majalah sastra Horison. Kehadiran Horison yang terbit pada bulan Juli tahun 1966 ini harus diakui membawa semangat baru pada bidang kesusastraan setelah pada beberapa tahun sebelumnya terjadi polemik kebudayaan/ kesusastraan antara kelompok Manikebu dan Lekra (1961-1964) yang mengakibatkan terjadinya pengekangan terhadap seniman dan sastrawan yang berlawanan dengan kebijakan pemerintahan Orde Lama pada saat itu.
Gairah dan harapan besar pada Jakarta sebagai ibukota kesenian di Indonesia makin membara, setelah pada 10 November 1968, Gubernur DKI Ali Sadikin meresmikan Pusat Kesenian Jakarta yang diberi nama Taman Ismail Marzuki, atau disingkat TIM. Bekas kebon binatang milik pelukis Raden Saleh yang terletak di Jalan Cikini Raya seakan menjadi proyek mercu suar yang tak terpenai di kalangan seniman Indonesia pada saat itu
Kemonceran Jakarta makin menjadi-jadi, ketika Ajip Rosidi pada tahun 1971 mendirikan penerbit Pustaka Jaya. Misi Pustaka Jaya adalah menerbitkan buku-buku buku-buku sastra. Selain menerbitkan buku sastra Indonesia (baik yang baru maupun yang cetak ulang), penerbit ini juga menerbitkan terjemahan sastra dunia.
Pada awal tahun 1970-an itulah sejumlah sastrawan daerah diketahui mulai berbondong-bondong hijrah ke Jakarta untuk mengadu nasib. Mereka datang dari berbagai penjuru tanah air untuk menjadi pengarang di Jakarta. Inilah kiprah para penyair muda masa itu, baik yang masih eksis, sudah berpindah profesi maupun yang sudah berpulang.
310 halaman
KKK, 2014