NAUSEA KOTA DALAM TELEPON GENGGAM

Buku puisi Irawan Sandhya Wiraatmaja Cetakan pertama, Agustus 2020

ISBN 978-63-7430-47-6

Tak ada penyair dadakan. Tak ada penyair barusan. Kepenyairan butuh proses. Ada yang kilat. Ada yang panjang. Ada yang tampak. Ada yang tak tampak. Tapi kepenyairan yang ideal, memang  butuh pengalaman panjang.

Irawan Sandhya Wiraatmaja, yang bukunya tengah kita baca ini, salah satunya. Ia menulis sejak remaja, di tahun 1970-an. Seperti kelaziman saat itu, ia mempublikasikannya di media massa cetak. Untuk ukuran zaman itu, puisi yang dimuat di media cetak adalah sebuah pencapaian tersendiri. Maklum, saat itu untuk sampai puisinya dimuat di media,  harus melalui proses kurasi, sedikitnya oleh redaktur..

Tetapi hingga sekarang, meski zaman berubah, saat menjadi penyair begitu mudah dan seakan tak butuh permenungan,  Irawan terus menulis puisi dengan semangat klasik seorang penyair. “Buat saya, menulis puisi adalah rekreasi, relaksasi dan sekaligus kontemplasi hidup,” katanya di sebuah majalah.

Perjalanan kepenyairan Irawan Sandya Wiraatmaja yang panjang itu paling tidak telah menghasilkan dua hal yang baik.

Pertama,  karena perjalanan hidup dan seiring bertambahnya usia, maka  terasa ada kedalaman dan kematangan di dalam puisi-puisinya; dan kedua,  --ini juga tak kalah penting--,  penyair semakin trampil dalam mengolah diksi, akibat semakin akrabnya si penyair bergaul dengan kata, modal utama bagi seorang penyair.

Bukan kebetulan, saat menulis ini saya barusan mewawancarai penyair perempuan Dorothea Rosa Herliany. “Sastra itu butuh ketangguhan dan keseriusan. Yang serius, yang sungguh-sungguh dan yang tangguh, dialah yang akan bertahan,” begitu kata  Rosa. Kata-kata ini rasanya pas benar melukiskan penyair yang sedang kita bahas ini.

Buku ini adalah buku kesekian dari Irawan Sandhya Wiraatmaja yang kami terbitkan. Dan kami selalu bangga menyuguhkannya ke hadapan pembaca.