MAWAR UNTUK GEREJA, HAIKU KATOLIK
Detail Produk
MAWAR UNTUK GEREJA, HAIKU KATOLIK
Kumpulan Haiku Katolik
Editor: Tengsoe Tjahjono
ISBN 978-602-6447-45-6
BUNDA MARIA DALAM HAIKU
Tengsoe Tjahjono
Bunda Maria dan Gereja sebagai persekutuan umat Allah tak bisa dipisahkan. Saat Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, Allah berencana mengutus Sang Penyelamat yang akan lahir dari keturunan “seorang perempuan” (Kej 3:15). Menurut Para Bapa Gereja kata “perempuan” yang dimaksud bukanlah Hawa, tetapi Hawa yang baru. Apa yang tertulis di Perjanjian Baru tentang “seorang perempuan” digenapi dalam Perjanjian Baru.
Sebagaimana Kristus yang dengan ketaatannya sebagai Adam baru mematahkan ikatan dosa Adam, Maria dengan ketaatannya juga mematahkan ikatan dosa Hawa. Melalui ketaatan Maria, Kristus lahir sebagai manusia melalui rahimnya. Gereja yang hidup di masa kini merupakan Tubuh Kristus. Sungguh betapa tak terpisahkan hubungan antara Yesus, Maria dan Gereja. Dalam Yoh. 19:26-27: “Yesus berkata kepada ibunya,” ibu, inilah anakmu. “Dan kepada muridnya, ia berkata,” Inilah ibumu.” Ini merupakan peristiwa luar biasa karena Yesus menegaskan bahwa kita adalah saudara-Nya dan menunjukkan bahwa Maria sebagai bunda kita. Ketegaran Maria di bawah kayu membuktikan ia sungguh seorang Ibu yang sangat menyayangi putranya, seorang Bunda Allah, Bunda Gereja.
Relasi Maria dan Gereja telah menginspirasi para penulis KPKDG untuk menuliskannya ke dalam bentuk haiku. Pengalaman-pengalaman pribadi para penulis sebagai anggota Gereja mengenai Bunda Maria dituliskannya ke dalam larik-larik haiku. Haiku merupakan puisi pendek klasik Jepang yang memakai bahasa sensorik untuk menangkap objek dengan perasaan atau kesan. Inspirasinya lahir dari elemen alam, peristiwa indah, atau pengalaman mengharukan. Haiku lahir pada akhir era Muromachi, namun berkembang ketika memasuki zaman Kinsei sekitar tahun 1602, yakni sejak Shogun Tokugawa Ieyasu yang berdiri sebagai pemegang kepemerintahan Jepang memindahkan pusatnya ke Edo. Haiku bermula dari bentuk puisi berpola 5-7-5 suku kata yang diciptakan untuk saling berbalas bersama mitra tutursebagaimana pantun. Larik pertama haiku terdiri atas 5 suku kata disebut ‘shougo’ atau ‘kamigo’ ( 上五). Nakashichi (中七) merupakan larik kedua yang berjumlah 7 suku kata dan ‘shimogo’ (下五) merupakan larik terakhir terdiri atas 5 suku kata.Ciri haiku sesungguhnya bukan hanya ikhwal jumlah larik dan suku kata, namun ada pula elemen kigo dan kireji. ‘Kigo’ merupakan bahasa alam. Kigo merupakan kata-kata yang melukiskan empat musim yang ada di Jepang. Jadi, kigo berhubungan dengan perasaan penyair atas suasana musim. Sedangkan, kireji merupakan pemotongan frase dalam haiku secara tepat sehingga melahirkan kejutan-kejutan di baris terakhir.
Bisa jadi Kitab Haiku Mawar untuk Gereja ini, yang semula diniatkan untuk menghimpun 1000 haiku dan hanya bisa menghimpun 850 haiku, belum bisa secara maksimal memenuhi elemen-elemen haiku yang dimaksud sebab penulis lebih menitikberatkan pada gagasan di samping perasaan atas fakta tentang Bunda Maria dalam hidupnya, dan Gereja yang mereka hidupi. Sebagai langkah awal ini tentu luar biasa.Semoga haiku makin hidup di ladang gereja sebagai media efektif untuk mewartakan kabar baik dan kasih ke seluruh dunia.
Malang, 27 November 2017